sumber foto:http://khabarsoutheastasia.com |
Jika pada tulisan sebelumnya PORBESS mewawancarai mantan pelaku aksi teror yang terkesan anti pemerintah, maka tulisan berikut ini berisi wawancara dari pemerintah, dalam hal ini adalah Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme / BNPT Prof. Dr. Irfan Idris, MA tentang program-program apa yang sudah dilakukan BNPT untuk mengurangi atau menghilangkan bibit radikalisme di kalangan pemuda.
Bisa cerita tentang program deradikalisasi BNPT?
BNPT ini lahir sejak 2010 akhir dengan program
pencegahan dan penindakan. Penindakan itu sendiri sudah berjalan oleh Densus
88, dan kurang lebih 500-800 teroris sudah tertangkap. Dan dunia mengakui
Indonesia berhasil menindak teroris. Ada beberapa negara yang datang atau
mengundang kita untuk belajar pada kita tentang soft approach atau pendekatan lunak dalam menangkal terorisme.
Kalau dulu pendekatannya adalah hard
approach atau represif. Padahal kekerasan jika dihantam dengan kekerasan lagi
maka tidak akan pernah habis. BNPT menerapkan pendekatan lunak melalui
reedukasi, rehabilitasi, reorientasi, resosialisasi. Reedukasi adalah
penangkalan dengan mengajarkan pencerahan kepada masyarakat tentang paham
radikal, sehingga tidak terjadi pembiaran berkembangnya paham tersebut.
Apa pengertian radikalisme menurut BNPT?
Radikalisme di Indonesia ada bermacam-macam. Ada radikalisme ide. Jenis ini tidak
merusak, dan ini adalah hak setiap orang. Ada radikalisme aksi seperti
demonstrasi namun tetap dalam koridor NKRI. Ada juga radikalisme separatis.
Sedangkan core kita adalah
radikalisme teroris. Dan sebenarnya bersikap radikal itu bagus, artinya kita
berpikir sampai tuntas sampai akar-akarnya. Namun yang terjadi adalah ketika
radikal itu menjadi pemaksaaan kehendak dengan membawa-bawa agama Islam. Ini
yang merusak. Padahal Islam tidak seperti itu. Karena itulah perlu penindakan
dan pencegahan. Penindakan itu dinilai berhasil karena ada ukurannya. Sementara
pencegahan tidak bisa diukur. Yang dicegah bukan peledakan bom, tapi aksi
radikal dan lahirnya bibit-bibit radikal melalui sekolah, dan ini sangat halus.
Radikal ideologi menyebabkan lahirnya aksi-aksi teror. Misalnya: bukan syariat
Islam maka kafir dan masuk neraka. Ini disebabkan karena mereka tidak
tercerahkan. Itulah perlunya reedukasi dengan pendekatan holistik bahwa Islam
agama damai dan terorisme bukan diajari oleh Islam. Di luar negeri terorisme
dilakukan oleh non muslim. Karena itu kita harus melakukan pencegahan dini dan
tangkal dini melalui pemberdayaan-pemberdayaan lembaga masyarakat, tokoh
pendidikan, tokoh masyarakat. Kita juga melakukan apa yang kita sebut sebagai counter propaganda atau counter narasi, yaitu mengcounter
berita-berita dari media (online) yang memanas-manasi situasi bahwa Indonesia
tidak aman.
Aksi-aksi nyata dari BNPT untuk deradikalisasi?
Sejak 2011 sudah berjalan seperti ToT, Training for Trainer, kita kumpulkan
pembina, pengasuh dan pengajar pesantren. Kan dulu dikatakan bahwa pesantren
itu sarang teroris. Sementara pesantren di seluruh Indonesia ini tidak ada
satupun yang mengajarkan santrinya merakit bom. Kalau ada kasus di pesantren
Ngruki, itu alumninya yang sudah keluar dan merusak nama almamater. Anak-anak
yang sedang mencari identitas diri mencari panutan. Dengan adanya ToT ini kita
menciptakan keteladan. Selain itu ada juga Forum
Grup Discussion, kita mengumpulkaan para ulama, guru-guru agama seperti
yang kita lakukan di Depok. Ada juga rehabiliitasi dengan melibatkan LSM,
dengan melakukan pembinaan terhadap mantan teroris atau keluarganya berupa pembinaan kemandirian dan
pembinaan kepribadian. Pembinaan kemandirian ini adalah bagaimana mereka siap
kembali ke masyarakat karena mereka tidak terlahir sebagai teroris. Mereka melakukan
aksi radikal karena kondisi ekonomi, keluarga yang carut marut dan terjadi
kekecewaan seperti korupsi pada pemerintahan sehingga larinya ke aksi radikal.
Kita menggandeng ormas, LSM, ormas pemuda, tokoh masyarakat. Kita adalah
koordinator. Banyak yang mengatakan bahwa deradikalisasi adalah de-Islamisasi
atau pendangkalan akidah, padahal tidak seperti itu.
Bagaimana dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi pelaku aksi
radikalisme?
Paling tinggi mungkin hanya SMA, kalaupun ada yang
dari perguruan tinggi itu biasanya dari Timur Tengah. Sedangkan dari sisi
ekonomi biasanya mereka bekerja serabutan. Memang itu akar permasalahannya
meskipun bukan the only one penyebab
radikalisme. Namun di Indonesia faktor tersebutlah yang lebih dominan. Faktor
kesejahteraan. Ketika mereka tidak merasakan kesejahteraan, maka timbulah
gejolak yang menimbulkan tindak radikalisme.
Kesejahteraan adalah akarnya. Faktor lain adalah kekecewaan, politik,
atau apapun. Tidak ada satupun agama yang tidak mengajarkan kedamaian. Di Eropa
saja yang ada tidak beragama tapi menerapkan nilai-nilai kedamaian. Perbedaan
adalah kepastian. Yang saya heran kalau ada masyarakat yang tidak mau menerima
masyarakat yang pluralis. Kita juga pernah melakukan peace journalism di Timur Indonesia. Kita ingin agar media seimbang
dalam memberitakan tentang terorisme dan radikalisme.
Apakah remaja masjid memiliki peran dalam deradikalisasi?
Remaja masjid sangat berperan besar dalam
menangkal radikalisme. Kita memasukkan program nasional dengan memberdayakan
masjid termasuk remaja, takmir dan marbot. Semua mempunyai peran
deradikalisasi. Supaya masyarakat yang tidak tersentuh dengan kebijakan ekonomi
dari pemerintah bisa tersentuh melalui rumah ibadah. Kalau rumah ibadah dipakai
hanya untuk ibadah saja, maka esensinya hilang. Rumah ibadah dipakai untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan umat, melakukan pendampingan, pemberdayaan
masyarakat di sekitar masjid. Sehingga masjid menjadi sumber kesejahteraan dan
pencerahan, bukan menjadi penyebaran paham radikal. Teroris itu haram, jihad
itu wajib. Jangan sampai dicampur antara keduanya. Teroris dengan baju jihad.
Yang kita lakukan adalah jangan terjadi penanaman rasa kebencian. Kita di
Indonesia tapi ingin seperti di Arab. Islam itu ada dimana-mana. Islam tidak
menuntut keseragaman berbudaya.