Umar Abduh: "Terorisme dibentuk intelijen"



PORBESS dan Umar Abduh (kanan)
Umar Abduh, mantan narapidana kasus pembajakan pesawat Woyla tahun 1980an, berbicara tentang terorisme remaja. PORBESS menemuinya di Kafe Starbucks, Jakarta untuk bincang-bincang mengenai terorisme.

Pendapat Anda tentang terorisme di Indonesia?
Suka atau tidak suka, terorisme dan radikalisme itu adalah bentukan intelijen dalam rangka memposisikan negara atau pemerintah sebagai sesuatu yang eksis. Menciptakan virus dan sekaligus anti virus. Kalau negara ini beradab, tentu tidak perlu seperti ini. Capek menciptakan virus dan antivirus. Ini persis gaya Amerika yang menciptakan hantu “terorisme” untuk menunjukkan hegemoninya. Dan 90 persen peristiwa terorisme di Indonesia adalah by design. Namun di antara para pelakunya ada yang sadar dan ada juga yang tidak sadar. Seperti Hambali dan Zulkarnain, mereka itu sadar kalau sedang dimanfaatkan. Sedangkan Amrozi tidak sadar kalau dia sudah dimanfaatkan. Mereka pikir jaringannya steril, padahal di tingkat atasnya sudah dimainkan.

Tentang aksi radikalisme?
Radikal dalam pengertian memiliki pemikiran yang berbeda, ingin menerapkan sistem Islam itu sah-sah saja. Atau ketika orang berani menantang yang besar, maka itu radikal. Saya membagi radikalisme itu dalam beberapa kelompok. Kelompok ideologis, kelompok moderat seperti Abu Bakar Ba’syir, dan kelompok kooptasi. Kalau kelompok ideologis, mereka tidak menjadikan Indonesia sebagai sasaran aksi mereka. Sedangkan kelompok kooptasi adalah mereka yang sudah dipegang. Dan radikalisme tidak saja ada dalam Islam. Radikalisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok non muslim malah cenderung dibiarkan, sedangkan yang radikalisme Islam disikat. Pembiaran aksi radikal disebut radikalisasi, dan ini sepenuhnya dipegang oleh pemerintah. Kalau pemerintah membiarkannya, berarti pemerintah sudah menciptakan dan me-manage radikalisme. Jadi radikalisme itu ada karena diciptakan.

Tentang penanganan radikalisme?
Selama ini yang menangani kelompok radikal hanya institusi kepolisian. Seharusnya Kementerian Pemuda dan Olahraga juga dilibatkan, karena radikalisme itu ada di pemuda. Dan urusan Kemenpora tidak hanya olahraga saja. Harus ada sinergi antara Kemenpora dan kelompok Islam dalam menekan radikalisme. Pendekatannya pun bukan politis atau hukum.

Siapa sebenarnya yang bisa terpancing melakukan aksi radikal?
Biasanya adalah mereka yang berpendidikan rendah. Meskipun ada juga pelaku, seperti Pepi, yang jelas orang yang berpendidikan. Orang Islam itu kelemahannya adalah duit dan senjata.  Selain itu Islam sendiri didorong untuk melakukan radikalisme. Seperti Aman Rahman yang disuruh menerjemahkan buku-buku “galak” di penjara. Padahal seluruh gerakan Islam tidak melakukan kalau tidak didorong oleh militer. Dan sekarang yang mendorongnya adalah polisi. Dan Indonesia tidak punya kredibilitas sebagai bangsa, disuruh berperang sama bangsa sendiri, mau. Baik terorisnya, kelompok Islamnya, dan pemerintahnya sama-sama mau.

Bagaimana proses deradikalisasi yang efektif?
Deradikalisasi itu datangnya dari pemerintah, bukan masyarakat. Ada saatnya orang membahas masalah jihad, tapi ada yang sudah didoktrin tentang jihad padahal belum saatnya sehingga bisa salah arah. Deradikalisasi yang melibatkan masyarakat hanya sebatas pada kesadaran mereka untuk tidak melakukan aksi radikalisme. Selain itu pemerintah juga tidak punya orang-orang yang kapabel di bidang agama. Kita tidak memiliki pemimpin agama seperti di Iran, atau Pakistan zamannya Zia Ul Haq. Namun ketika ada tokoh yang berpotensi menjadi pemimpin agama, malah dihancurkan. Padahal kalau pemerintah tidak sanggup menjalankan kebaikan, maka jangan melarang orang lain untuk melakukannya. Masjid sebagai pusat kebaikan juga bebas tidak terarah. Ada yang anti pemerintah, ada yang pro pemerintah. Ada yang anti teroris, tapi juga ada yang pro teroris. Tidak dimenej. Ini menunjukkan pemerintah tidak peduli dengan pendidikan agama.  Jika pemerintahnya jelek, pasti masyarakatnya juga hilang.