PORBESS dan Umar Abduh (kanan) |
Pendapat Anda tentang terorisme di Indonesia?
Suka atau tidak suka, terorisme dan radikalisme
itu adalah bentukan intelijen dalam rangka memposisikan negara atau pemerintah
sebagai sesuatu yang eksis. Menciptakan virus dan sekaligus anti virus. Kalau
negara ini beradab, tentu tidak perlu seperti ini. Capek menciptakan virus dan
antivirus. Ini persis gaya Amerika yang menciptakan hantu “terorisme” untuk
menunjukkan hegemoninya. Dan 90 persen peristiwa terorisme di Indonesia adalah by design. Namun di antara para pelakunya
ada yang sadar dan ada juga yang tidak sadar. Seperti Hambali dan Zulkarnain,
mereka itu sadar kalau sedang dimanfaatkan. Sedangkan Amrozi tidak sadar kalau
dia sudah dimanfaatkan. Mereka pikir jaringannya steril, padahal di tingkat
atasnya sudah dimainkan.
Tentang aksi radikalisme?
Radikal dalam pengertian memiliki pemikiran yang
berbeda, ingin menerapkan sistem Islam itu sah-sah saja. Atau ketika orang berani menantang yang besar,
maka itu radikal. Saya membagi radikalisme itu dalam beberapa kelompok.
Kelompok ideologis, kelompok moderat seperti Abu Bakar Ba’syir, dan kelompok
kooptasi. Kalau kelompok ideologis, mereka tidak menjadikan Indonesia sebagai
sasaran aksi mereka. Sedangkan kelompok kooptasi adalah mereka yang sudah
dipegang. Dan radikalisme tidak saja ada dalam Islam. Radikalisme yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok non muslim malah cenderung dibiarkan,
sedangkan yang radikalisme Islam disikat. Pembiaran aksi radikal disebut
radikalisasi, dan ini sepenuhnya dipegang oleh pemerintah. Kalau pemerintah
membiarkannya, berarti pemerintah sudah menciptakan dan me-manage radikalisme. Jadi radikalisme itu ada karena diciptakan.
Tentang penanganan radikalisme?
Selama ini yang menangani kelompok radikal hanya
institusi kepolisian. Seharusnya Kementerian Pemuda dan Olahraga juga
dilibatkan, karena radikalisme itu ada di pemuda. Dan urusan Kemenpora tidak
hanya olahraga saja. Harus ada sinergi antara Kemenpora dan kelompok Islam
dalam menekan radikalisme. Pendekatannya pun bukan politis atau hukum.
Siapa sebenarnya yang bisa terpancing melakukan aksi radikal?
Biasanya adalah mereka yang berpendidikan rendah.
Meskipun ada juga pelaku, seperti Pepi, yang jelas orang yang berpendidikan.
Orang Islam itu kelemahannya adalah duit dan senjata. Selain itu Islam sendiri didorong untuk
melakukan radikalisme. Seperti Aman Rahman yang disuruh menerjemahkan buku-buku
“galak” di penjara. Padahal seluruh gerakan Islam tidak melakukan kalau tidak
didorong oleh militer. Dan sekarang yang mendorongnya adalah polisi. Dan
Indonesia tidak punya kredibilitas sebagai bangsa, disuruh berperang sama
bangsa sendiri, mau. Baik terorisnya, kelompok Islamnya, dan pemerintahnya
sama-sama mau.
Bagaimana proses deradikalisasi yang efektif?
Deradikalisasi itu datangnya dari pemerintah,
bukan masyarakat. Ada saatnya orang membahas masalah jihad, tapi ada yang sudah
didoktrin tentang jihad padahal belum saatnya sehingga bisa salah arah.
Deradikalisasi yang melibatkan masyarakat hanya sebatas pada kesadaran mereka
untuk tidak melakukan aksi radikalisme. Selain itu pemerintah juga tidak punya
orang-orang yang kapabel di bidang agama. Kita tidak memiliki pemimpin agama
seperti di Iran, atau Pakistan zamannya Zia Ul Haq. Namun ketika ada tokoh yang
berpotensi menjadi pemimpin agama, malah dihancurkan. Padahal kalau pemerintah
tidak sanggup menjalankan kebaikan, maka jangan melarang orang lain untuk
melakukannya. Masjid sebagai pusat kebaikan juga bebas tidak terarah. Ada yang
anti pemerintah, ada yang pro pemerintah. Ada yang anti teroris, tapi juga ada
yang pro teroris. Tidak dimenej. Ini menunjukkan pemerintah tidak peduli dengan
pendidikan agama. Jika pemerintahnya
jelek, pasti masyarakatnya juga hilang.