Garuda di Dada Bang Rhoma

Sumber:www.republika.co.id
Beberapa minggu terakhir ini ada dua berita yang cukup menarik perhatian publik di Indonesia. Pertama adalah kemenangan Obama sebagai presiden AS mengalahkan lawannya Mitt Romney. Dengan persaingan ketat dan angka yang beda tipis, akhirnya presiden kulit hitam pertama di negeri Abang Sam ini berhak menduduki kembali kursinya sebagai pemimpin negara adikuasa. Meski ada juga tokoh di Amerika yang terang-terangan menolak kemenangan tersebut, namun masyarakat, khususnya pemerintah dan pengusaha di Indonesia, menyambut Obama dengan suka cita.

Berita kedua, adalah pencalonan Raja Dangdut Rhoma Irama (65) oleh sekelompok ulama sebagai Presiden RI 2014. Alasannya sederhana, Rhoma dianggap mampu memperbaiki akhlak masyarakat Indonesia yang sudah mendekati titik nol.

Tidak ada yang salah dengan manuver Rhoma. Setiap orang, baik politisi, seniman, pengusaha, atau bahkan mahasiswa berhak mencalonkan atau dicalonkan untuk menjadi presiden republik ini. Setidaknya ada dua hal yang menjadi pendidikan politik bagi masyarakat berkaitan dengan pencapresan Rhoma. Pertama, masyarakat dididik untuk terbuka terhadap siapapun yang mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Bila sebagian orang menganggap miring Rhoma, seharusnya sikap yang sama juga ditunjukkan kepada tokoh-tokoh lain yang memiliki rekam jejak yang kurang baik terhadap masyarakat, namun seolah sah-sah saja memajukan dirinya sebagai presiden. Dari beberapa survei yang diadakan lembaga ’independen’, sejumlah nama populer yang punya ’dosa sosial’ dan ’dosa politik’ di masa lalu ternyata menempati 10 besar dari capres-capres 2014. Ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia, minimal yang menjadi responden survei, memiliki penyakit lupa yang akut. Atau kalau mau dilihat dari segi positif, masyarakat kita memiliki sifat pemaaf yang luar biasa besar. Buktinya, nama-nama itu masih bertengger di Top 10 calon pemimpin dari 200 juta orang di negeri ini.

Dan yang kedua, tokoh tua ternyata masih menjadi pilihan untuk dimajukan sebagai calon daripada tokoh muda. Bang Haji yang sudah berumur 65 tahun, yang kalau PNS sudah seharusnya pensiun dan bercengkerama dengan cucu, dianggap mampu membereskan segala persoalan-persoalan rumit dari Sabang sampai Merauke. Kemana tokoh muda? Atau mengapa ulama-ulama ini tidak mencalonkan tokoh muda yang masih di bawah 50 tahun? Salah satu sebabnya karena tokoh muda kalah populer dengan tokoh tua.

Istilah “pemuda” mengacu pada umur seseorang. United Nations General Assembly dan World Bank mendefinisikan pemuda sebagai individu yang berusia antara 15 sampai 24 tahun. Sedangkan National Highway Traffic Administration memberi batasan antara 15 hingga 29 tahun. Sedangkan kamus Webster karangan Princeton, pemuda (youth) adalah “the time of life between childhood and maturity; early maturity; the state of being young or immature or inexperienced; the freshness and vitality characteristic of a young person”. Sedangkan World Health Organization menggolongkan usia 10 – 24 tahun sebagai young people, sedang remaja atau adolescence dalam usia 10 – 19 tahun. Kitab suci umat Islam, Al Qur’an mendefinisikan pemuda sebagai asy-syabab yang rujukannya antara lain Nabi Ibrahim dan Nabi Musa tanpa menyebutkan umur. Digambarkan pemuda dalam Al Qur’an memiliki karakter pemberani, revolusioner, dan petualang.

Dalam konteks Indonesia, batasan antara “pemuda” dan “orang tua” masih kabur. Mereka yang berumur 50 tahun ke bawah di anggap ”pemuda” bila dibandingkan mereka yang berumur 60 tahun. Contohnya dalam pemilu presiden di mana mereka yang disebut ”golongan tua” adalah mereka yang sebelumnya sudah aktif dan terlibat dalam pecaturan politik mereka, sedangkan kaum muda adalah mereka yang belum sempat/sedikit tampil di panggung nasional serta umurnya di bawah 50 tahun.

Pemuda Pemimpin Dunia

Meski terdapat perdebatan tentang batasan umur pemuda, namun sejarah mencatat begitu banyak mereka yang, oleh masyarakatnya dikategorikan sebagai kaum muda, berhasil menjadi presiden atau kepala pemerintahan di negaranya masing-masing. Sejarah bangsa Amerka dipenuhi oleh presiden yang justru berusia di bawah 50 tahun. Sebut saja James K. Polk, Pierce, FranklinFranklin Pierce, Ulysses S. Grant, Garfield, JamesJames A. Garfield, Cleveland, GroverGrover Cleveland, Roosevelt, TheodoreTheodore Roosevelt, John F. Kennedy, Clinton, WilliamBill Clinton, dan terakhir Barrack Obama yang berusia 47 tahun ketika dilantik pertama kali menjadi presiden.

Australia juga memiliki sejarah pemimpin muda di bawah 50 tahun ketika mereka pertama kali menjabat. Mereka adalah Alfred Deakin, Chris Watson, Andrew Fisher, Bruce, StanleyStanley Bruce, Scullin, JamesJames Scullin, Robert Menzies, Arthur Fadden, Paul Keating 01944-01-18 dan yang sekarang sedang memimpin Julia Gillard.

Indonesia sendiri pernah punya sejarah tentang pemimpin muda. Soekarno menjadi presiden di saat umurnya 44 tahun. Soeharto mengganti Soekarno di umur 46 tahun. Di luar itu, presiden Indonesia berumur di atas 50 tahun, seperti BJ Habibie yang menjadi presiden di umur 62 tahun, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur 59 tahun, Megawati 54 tahun dan Susilo Bambang Yudhoyono 55 tahun.

Di zaman Indonesia awal merdeka, pemimpin partai politik yang berkuasa justru di bawah umur 50 tahun. Sebut saja Wahid Hasyim ketua Masyumi yang berumur 29 tahun, Idham Cholid ketua PBNU berumur 34 tahun, dan bahkan Dipa Nusantara Aidit pun memimpin Partai Komunis Indonesia di saat usianya 30 tahun. Di zaman Indonesia modern, Anas Urbaningrum sebagai ketua partai terbesar di Indonesia juga masih berumur 41 tahun.

Oleh karena sejarah telah mengajarkan kita tentang kepemimpinan pemuda di panggung nasional, maka tidaklah mustahil bila di masa kini hal tersebut berulang kembali. Di era reformasi ini, akomodasi terhadap pejabat usia muda sudah mulai diterapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Terpilihnya Helmy Faisal Zaini sebagai Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal salah satu contohnya. Ia adalah menteri termuda di Kabinet Indonesia Bersatu II. Umurnya baru 37 tahun saat dilantik. Bila prestasinya sebagai menteri selama lima tahun ke depan ini cukup spektakuler, tidak tertutup kemungkinan ia akan menjadi salah satu kandidat presiden RI termuda di tahun 2014 nanti.

Selain itu, kemenangan pemimpin muda di sejumlah pilkada (DKI Jakarta dengan Jokowi-Ahok, misalnya) juga merupakan fenomena yang menggembirakan, bahwa dalam taraf kedaerahan, masyarakat Indonesia saat ini sudah mulai melihat profil pemuda sebagai calon pemimpin.

Tantangan dunia sudah semakin beragam. Dunia tidak hanya menghadapi masalah terorisme, tetapi juga perubahan iklim, kekurangan pangan, ledakan penduduk, bencana alam dan sebagainya. Dengan tantangan yang lebih kompleks dibanding Indonesia pra merdeka dan era Orde Baru, maka dibutuhkan pemimpin (muda) yang kualitas intelektual, moral dan kompetensinya tidak diragukan lagi serta memiliki jaringan yang luas dan mampu memanfaatkan teknologi. Kharisma tidak selalu menjadi faktor utama keberhasilan, menurut Steve Probes dan John Prevas dalam buku Power Ambition Glory. Justru karater yang kuat  serta kemauan untuk mendengar pendapat orang lain adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesuksesan seorang pemimpin.

Calon pemimpin muda masa depan perlu mencermati filosofi kepemimpinan Jawa yang disimbolkan oleh gelar Sultan Agung sebagai Senapati ing ngalaga, Sayidin panata agama, Ngabdurrahman, Khalifatullah ing tanah Jawa. Maksud filosofi ini adalah seorang pemimpin harus memiliki kapasitas sebagai panglima perang (mampu memobilisasi dan mengendalikan pasukan di medan juang), seorang pemuka agama (berilmu cukup dan sanggup mengurus masalah spiritual masyarakatnya), seorang hamba Allah yang taat (dan tidak bersikap sewenang-wenang kepada rakyatnya), dan “khalifatullah” (wakil Allah) di wilayah yang dikuasainya.

Jika Rhoma sudah berani mencalonkan diri sebagai presiden, maka artinya ia sudah siap menghadapi tantangan dan persoalan yang nantinya akan ia temukan. Daripada menyindir dan menyalahkannya, lebih baik kita mencoba berbaik sangka, sebagaimana kita mencoba berbaik sangka kepada capres lainnya, bahwa niat ia mencalonkan diri mulia untuk memperbaiki Indonesia. Artinya, ada rasa cinta terhadap tanah air sehingga tidak rela kalau negeri ini dirusak oleh pemimpin yang tidak bertanggung jawab (menurut pandangannya). Nasionalismenya bagaikan burung Garuda yang menempel di dada.

Kalau toh hasil pemilu 2014 tidak ada rakyat yang memilihnya, atau tidak ada satu pun parpol yang berminat mengusungnya, cukuplah Bang Haji mengucapkan, “Ter-la-lu....”

Opini ditulis oleh: Muhammad Zulkifli

Referensi

Masao, Kitami, 2009, Swordless Samurai, Redline Publishing
Forbes, Steve,and John Prevas, 2009, Power Ambition Glory,US, Crown Business
Syamsudidin, Aziz, 208, Kaum Muda Menatap Masa Depan Indonesia, Jakarta, RMBooks

2 komentar: