Radikalisme dan Anak Muda



sumber foto:The Jakarta Post

Peristiwa beberapa bulan terakhir tentang terorisme yang dilakukan remaja menyentak banyak pihak. Mengapa anak-anak muda sekarang mudah terkontaminasi paham radikal? Berikut wawancara jarak jauh PORBESS dengan pakar terorisme Noor Huda Ismail.

Faktor apa yang menyebabkan radikal pada remaja?
Pemerintah sebenarnya memiliki program yang tersegmentasi. Misalnya mulai umur 0 – 5 tahun ada program imunisasi, lalu program wajib belajar SD sampai SMP. Namun setelah SMA pemerintah belum punya program. Padahal di sini terjadi krisis identitas. Lalu proses pencarian identitas ini diambil oleh geng motor, suporter bola dan kelompok radikal. Remaja yang sedang mencari nilai-nilai akhirnya tertarik dengan hal seperti ini. Pencarian nilai pada diri remaja tersalurkan pada tempat yang salah.

Anda pernah satu pesantren dengan Amrozi, Imam Samudera dan lain-lain. Apa yang membedakan Anda dengan mereka?
Kita berubah karena dua hal, yaitu orang yang kita bergaul dengannya serta buku yang kita baca. Ketika lulus, saya tidak pergi ke Afghanistan seperti mereka. Di sana mereka mengalami konflik secara langsung dan apa yang diajarkan di kelas-kelas di Ngruki bahwa orang kafir tidak akan berhenti memerangi mereka terbukti saat itu. Kalau saya setelah lulus pesantren lalu bekerja sebagai tourist guide, ketemu banyak orang. Saya kuliah di UGM dan di sana saya sering baca-baca buku karya non muslim seperti Karl Marx, Lenin dan lainnya. Sedangkan mereka mendapat pemikiran dari satu sisi saja, yaitu apa yang didapat di Ngruki.

Peran remaja masjid untuk proses deradikalisasi?
Mengenalkan budaya berpikir kritis. Kalau di organisasi keislaman, penekannya pada samina’ wa athona atau kami dengar dan kami taat. Harusnya, kami dengar dan kami pikirkan. Ada proses tesis dan antitesis, ada proses verifikasi apakah yang diomongin benar atau tidak. Entrepeneurship atau kewirausahaan merupakan salah satu cara deradikalisasi, karena disitu kita diajarkan untuk terbuka terhadap orang lain. Misalnya saya berbisnis kafe. Saya mempekerjakan mereka yang dulu pernah terlibat pada aksi-aksi terorisme. Kafenya rata-rata di Semarang. Ada yang terlibat Bom Bali 2, ada orang kepercayaannya Noordin M Top dan kasus lainnya. Saya mengharapkan mereka bisa berintegrasi dengan masyarakat melalui makanan. Makanan menjembatani orang untuk berintegrasi. Saya mencoba melakukan deradikalisasi dengan kuliner. Kita tidak bisa melarang siapa yang datang, siapapun harus dilayani. Konsep pelayanan itu yang menjadi penting. Di bisnis kuliner ini saya membentuk perusahaan formal dan mereka dipekerjakan secara profesional. Di Poso saya juga membentuk Jaringan Masyarakat Sipil Pembentuk Pendamaian. Anggotannya rata-rata adalah orang yang dulu bertikai di sana. Saya inginnya mereka menjadi mitra-mitra saya di bisnis ini ke depannya.

Tentang Yayasan Prasasti Perdamaian?
Didirikan sejak 2008 secara legal formal, namun kerja-kerja yang mengarah ke situ sudah sejak 2003. Kegiatan rutin di Pasific Buildiing untuk diskusi internal. Kegiatan riset dan wawancara. Radikal itu silahkan saja, yang masalah adalah penggunaan kekerasan. Perlawanan terhadap status quo itu harus radikal tapi di jalan yang tepat. Di yayasan ini, pendekatan yang saya lakukan bukan pendekatan agama, melainkan pendekatan berpikir kritis. Jurnalistik merupakan salah satu cara untuk mengasah orang berpikir kritis. Saya juga mengajar jurnalistik di pesantren. Jadi bukan pendekatan melalui tafsir dari ulama satu dengan tafsir dari ulama lain. Pendekatan teologis adalah pendekatan tanpa akhir. Kita akan kehilangan energi untuk itu.