Mereka yang Sukses di Bisnis Recehan


Sumber:menghasilkanuang.net
Banyak orang yang berpikir bahwa menjadi kaya adalah milik pengusaha minyak, tambang batu bara, properti, atau maskapai penerbangan. Padahal banyak sekali mereka yang berhasil membangun kekayaan justru dari bisnis recehan, baik yang pernah dipublikasi media maupun yang tidak pernah diekspos. Bidang usahanya pun bermacam-macam, mulai dari kuliner, fashion, aksesoris, seni, handycraft ataupun produk-produk lainnya. Porbess mengangkat sebagian profil mereka yang sukses di bisnis recehan ini langsung dari buku Menjadi Jutawan dari Bisnis Recehan.

Waryono
Tidak banyak yang kenal sosok ini. Memang profesi Waryono sehari-hari ‘hanyalah’ office boy (OB) di sebuah perusahaan di Jakarta. Gajinya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Apalagi biaya hidup di Jakarta yang demikian tinggi, untuk bertahan hidup dari penghasilan sebagai OB tentu saja sangat sulit.

Namun jangan salah, Waryono adalah juragan pecel lele dan tanaman hias yang memiliki omset 25 juta rupiah per bulan. Berapa modal awalnya? Hanya 500 ribu!

Sebagai seorang recehpreneur, Waryono tahu betul bahwa keterbatasan modal tidak serta merta menghambat dirinya untuk mendirikan usahanya. Ia mengembangkan warung pecel lelenya menjadi 2 buah, demikian juga dengan warung tanaman hiasnya yang ia kembangkan. Selain itu Waryono juga memiliki sawah yang disewakan serta traktor.

Salah satu prinsip Waryono sehingga mampu mengembangkan usahanya sehingga memiliki omset puluhan juta rupiah tidak lepas dari kemampuannya dalam mengelola keuangan. Ia memisahkan antara uang pribadi/keluarga dengan uang perusahaan. Tidak heran sebuah televisi swasta pernah meliputnya.

Pecel lele bukanlah bisnis yang besar seperti layaknya bisnis properti, perkapalan atau bahkan telekomunikasi. Semua orang punya kesempatan untuk membuka usaha seperti ini. Demikian juga dengan tanaman hias. Di Bogor saja sepanjang jalan Pajajaran berjejer pedagang-pedagang tanaman hias. Recehan? Pasti. Berapa omsetnya? Silahkan ditanya langsung ke mereka. Yang jelas kalau omsetnya kecil, sudah dari dulu mereka gulung tikar. Malah yang terjadi mereka semakin lama semakin banyak variasi produknya.

Waryono adalah salah satu contoh bahwa seseorang bisa menjadi kaya dari bisnis recehan.

Muhammad Asmui
Bila kita menyebut nama Javapuccino, tentu tidak lepas dari sosok Muhammad Asmui. Keterbatasan ekonomi keluarga tidak menghalanginya untuk memiliki bisnis beromset ratusan juta rupiah per tahun. Sebagai pemilik sebuah merek minuman yang memiliki 234 cabang, Asmui adalah contoh lain dari mereka yang berhasil menjadi jutawan dari bisnis recehan.

Pernahkah kita berpikir berapa modal untuk berjualan es teh di kampus? Ternyata hanya 30 ribu rupiah saja. Namun di tangan Asmui, modal sekecil ini bisa disulap menjadi 400-600 ribu rupiah per hari. Strateginya untuk lebih memaksimalkan omset, salah satunya adalah dengan membuka kesempatan untuk bermitra melalui situs di internet.

Peminat waralaba Javapuccino pun membludak. Jumlah gerainya bertambah. Hasilnya, ia bisa membeli rumah di Jakarta, mobil dan renovasi rumah di kampungnya. Tidak hanya itu, Asmui juga berhasil merampungkan kuliah dari hasil bisnisnya. Inilah hasil dari uang recehan yang memaksa dia jadi jutawan.

Aminuddin ”Bang Kumis”
Biasanya hiburan yang suka hadir di kompleks perumahan atau gang-gang sempit dekat kompleks elite selain topeng monyet adalah odong-odong. Odong-odong merupakan permainan buat anak-anak balita berupa sepeda yang di atasnya ada mainan seperti bebek-bebekan yang nantinya bergerak ketika sepedanya dikayuh.

Bagi Aminuddin atau biasa dipanggil Bang Kumis, odong-odong tidak saja menjadi mata pencahariannya, tapi juga sumber penghasilan bagi orang-orang yang bekerja padanya. Dengan modal 6 juta hasil pinjaman, ia membeli 7 buah odong-odong dan mempekerjakan orang-orang dari Brebes, Cianjur, Garut dan Lampung. Setiap dua lagu, ’penumpang’ odong-odong dikenakan tarif seribu rupiah. Dari masing-masing sepeda ia mendapat setoran 25 ribu rupiah. Artinya perhari Bang Kumis mendapat penghasilan kurang lebih 175 ribu rupiah. Bila dalam sebulan odong-odong tersebut beroperasi 25 hari, maka pendapatan kotornya adalah Rp.4,375,000. Dalam waktu kurang dari 6 bulan ia sudah balik modal.
Bang Kumis sadar, untuk berbisnis memang hanya butuh keberanian. Cerdas tapi tidak berani hanya menyebabkan orang menjadi karyawan. Ia berani meminjam uang karena yakin hasil dari usaha kecilnya ini bisa melunasi pinjamannya tersebut. Hasil odong-odongnya saja sudah melebihi gaji seorang PNS golongan IIIA. Bisnis recehan ternyata bisa menghidupi banyak orang. Aminuddin telah membuktikannya.

Juliana Hartono
Siapa yang tidak kenal gado-gado? Hampir setiap orang mengenal makanan yang terdiri dari sayuran, lontong, pecel, toge, tahu dan kacang panjang ini. Makanan ini biasanya berada di kantin-kantin karyawan, gang-gang sempit, atau kalau “beruntung” bisa juga berada di depan mal-mal mewah. Tidak terpikirkan oleh kita kalau gado-gado bisa buka lapak di mal.

Namun oleh Juliana Hartono, gado-gado bisa naik kelas dengan dibuka di mal-mal mentereng. Gado-Gado Boplo, itulah nama mereknya. Dengan desain dan arsitektur menarik, restauran Gado-Gado Boplo ini bisa sejajar dengan restoran-restoran lain yang berkelas internasional.

Gado-Gado Boplo bermula pada tahun 1971 dengan modal 500 perak yang digunakan Juliana untuk membeli bahan. Karena kepintarannya dalam meracik bumbu, lama kelamaan gado-gado buatannya pun mulai dikenal oleh tetangga-tetangga sekitar rumah. Namun gado-gado ini menemukan momentumnya justru ketika pindah ke Jalan Wahid Hasyim, persis di depan apotek Boplo. Saat itulah gado-gado ini diberi merek Gado-Gado Boplo.

Juliana lalu mulai meningkatkan kelas produknya. Ia mulai masuk ke level restoran ketika ada yang menawarkan investasi kepadanya. Mendapat respon positif dari pasar, Juliana lalu mengembangkan restorannya menjadi 10 restoran dan 4 stand food. Hingga saat ini Gado-Gado Boplo masih eksis dengan cabang yang tersebar di mal-mal berkelas. Produk recehan seperti gado-gado ternyata bisa menjadi mesin uang milyaran rupiah bagi pemiliknya.

Dimas Ginanjar
Bagaimana menyulap Rp.50,000 menjadi 1 miliar rupiah? Tanya saja Dimas! Hanya menggunakan camilan keripik pedas Maicih, mahasiswa Administrasi Niaga di Universitas Parahyangan ini berhasil meningkatkan produk keripik ini dari puluhan bungkus per hari menjadi 5000 bungkus. Hanya dalam waktu 1 tahun sejak ia memulai usaha ini, kini omsetnya miliaran rupiah per bulan.

Dimas mengakui bahwa ketika memulai dengan modal 50 ribu rupiah, ia tidak mengambil profit yang dihasilkan untuk konsumtif. Uang keuntungan tersebut ia gunakana lagi untuk modal. Ia ‘puasa’ konsumtif. Dengan perhitungan harga 10 ribu per bungkus, maka tidak heran bila keripik pedas Maicih ini bisa meraih omset 1 miliar per bulan.

Menyasar segmen anak muda, strategi marketing yang ia gunakan adalah membuka akun di Twitter dan aktif menginformasikan kepada followernya tentang Maicih. Awalnya keripik ini dibuat oleh pihak ketiga, dan Dimas hanya berperan sebagai pemasar saja. Namun seiring dengan semakin meningkatnya pemesanan, akhirnya Dimas pun mempekerjakan orang-orang yang khusus memproduksi keripik Maicih ini. Dalam perkembangannya, produk yang menggunakan label bergambar nenek tua berkonde ini ternyata juga disukai oleh orang tua.

Distributor merupakan faktor lain mengapa produk ini laris di pasaran. Dimas mengakui bahwa penjualan keripik ini sangat dibantu oleh distributor-distributor yang ada di berbagai kota. Untuk kedepannya, ia berencana memperluas pasar di Malaysia dan Brunai Darussalam.

Riezka Rahmatiana
Bisnis besar dimulai dari kelas recehan. Kemampuan mengelola profit menjadi modal yang diputar kembali merupakan salah satu kunci keberhasilan membesarkan perusahaan. Itulah yang dilakukan Riezka Rahmatiana. Berbekal uang 150 ribu yang merupakan uang jajannya, ia lalu terjun ke bisnis pulsa dengan membeli deposit. Target pasarnya adalah teman-teman di kampus.

Tidak disangka, peminatnya begitu banyak sehingga hasil keuntungan yang ia peroleh digunakan untuk menambah deposit lagi. Lama kelamaan, seiring dengan berjalannya waktu, Riezka bisa membuka counter pulsa yang menjual voucher fisik, voucher elektrik, kartu perdana dan sebagainya. Omsetnya saat itu mencapai lebih dari 9 juta rupiah per bulan.

Sadar akan moncernya bisnis ini, Riezka lalu merambah bisnis lain yang mengusung brand buatan sendiri: Justmine Pisang Ijo. Usaha yang terakhir inilah yang akhirnya melambungkan namanya di kancah entrepreneurship Indonesia. Omset yang ia peroleh dari Justmine Pisang Ijo ratusan juta rupiah dengan jumlah outlet mencapai 40 outlet di Jabodetabek.

Irvan Affandi
Di zaman sekarang ini, siapa yang tidak pakai handphone? Mungkin sudah jarang ditemukan ada orang yang tidak punya hape. Bahkan pengamen cilik di bis-bis kota pun punya hape, demikian juga dengan sopir metro mini dan kernetnya. Rasanya sulit menemukan ada orang yang tidak punya hape di era informasi saat ini. Ditambah lagi dengan murahnya harga hape dibanding harga saat pertama kali dikenalkan di masyarakat Indonesia.

Potensi bisnis dari pengguna hape yang sangat besar ini dimanfaatkan oleh Irvan Affandi untuk menyediakan sarung handphone model celup merek Coza. Meski awalnya ia membangun bisnis ini dengan modal 5 juta rupiah, namun saat ini omsetnya sudah 7,3 juta rupiah per bulan, padahal usaha ini dijalankan belum satu tahun. Irvan menitipkan produk-produknya di counter-counter HP yang ada di Bandung Electronic Centre. Sebanyak 40 counter menjadi tempat penitipan produk-produknya dengan sistem konsyinasi. Irvan mampu menyuplai 50 pcs produk ke masing-masing counter tersebut.

Untuk harga satuan ia patok 35 ribu rupiah. Namun bila membeli grosiran (kodi) maka harganya menjadi 15 ribu rupiah per pcs. Irvan memang fokus pada volume penjualan. Tak heran bila bisnis ’kecil-kecilan’ ini bisa menghasilkan profit yang ’besar-besaran’.

Mereka yang berhasil membangun kemandirian finansialnya ternyata adalah mereka yang fokus pada bisnisnya, apapun bentuk dan produk usahanya. Kunci keberhasilan bukanlah dari apa yang dijual, melainkan dari seberapa lama mereka mampu bertahan.

2 komentar:

  1. Mereka yang berhasil membangun kemandirian finansialnya ternyata adalah mereka yang fokus pada bisnisnya, apapun bentuk dan produk usahanya. Kunci keberhasilan bukanlah dari apa yang dijual, melainkan dari seberapa lama mereka mampu bertahan.

    wowww.... i life again...
    ask : soewarna digest are same with reader digest
    tengkiyuuuuu

    BalasHapus
  2. Betul itu mas, yang penting FOKUS...FOKUS..FOKUS...!!! :)

    Soewarna Digest beda ama Reader Digest, yg pertama lebih ke majalah bisnis dan lifestyle..:)

    BalasHapus